24 May 2007

Panggung

Kawan, jika kau duduk sambil memeluk lutut di perempatan sibuk ini, sementara mata menerawang lalu lalang yang nyalang menangkap suwung. Keherananku mungkin sama dengan Abu Dzar saat ia berkata, “Saya heran melihat mereka yang hidup kelaparan, tetapi tidak membawa pedang-pedang mereka dan mendatangi orang-orang kaya itu untuk mengambil harta mereka.”

Ya, Jakarta sebagai panggung telah menyiapkan dirinya menjadi potret yang gagal dan absurd bagi keadilan. Dalam imajinasi manusianya, Jakarta bisa dan telah berarti apa saja. Sorga atau neraka, tumpukan sampah atau modal, semua hanya masalah seberapa yang kau punya untuk jalan kesana. Batas-batas telah dikemas menjadi setipis kulit ari dan mati bersama artinya. Selebihnya adalah horor yang menyergap dalam setiap fragmennya. Kematian dan kehidupan tak pernah mengajarkan sesuatupun selain pahit dan getir. Ya, Jakarta oleh semua telah menjadi rimba ‘the end justifies the means’. Dan Jakarta memang cabo.
(read more)

No comments: